Kajian tentang Perbedaan Penetapan 1 Syawal di Indonesia

1 Syawal beda lagi…???

Assalaamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh

Ane ada satu hal yang sangat mengganjal mengenai apa yang terjadi hari ini, tentang terbelahnya ummat dalam merayakan hari kemenangan setelah sebulan berjibaku, bergelut dengan hawa nafsu demi mencari ridho Allah SWT. Sungguh demi Allah, ane sedih karena toleransi yang kita agung-agungkan ternyata tidak terealisasi dengan baik. Yang merayakan Idul Fitri hari ini memperlihatkan sikap tidak terpuji dengan makan dan minum sembarangan didepan ummat yang dengan keyakinannya masih melaksanakan ibadah shaum Ramadhan. Sementara yang merayakan Idul Fitri esok hari menganggap ummat yang dengan keyakinannya telah berlebaran hari ini melanggar ketentuan Allah SWT karena makan dan minum di bulan Ramadhan.

Hal ini tak lepas dari kurangnya peranan pemerintah serta pemuka agama dalam mensyiarkan toleransi. Padahal kita semua tahu bahwa setelah dibacakannya Keputusan Pemerintah tentang penetapan 1 Syawal 1432 H, para petinggi pemerintah maupun petinggi organisasi keagamaan menggaungkan nilai-nilai toleransi dimana kenyataannya yang ane lihat hal itu tidak terjadi sama sekali.

Berdasarkan hasil sidang Itsbat, pemerintah menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriyah jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011, sesuai keputusan Menteri Agama Nomor 148 tahun 2011 tertanggal 29 Agustus 2011, tentang Penetapan 1 Syawal 1432 H.

Sedangkan Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1432 Hijriyah jatuh pada Selasa (30/8). Keputusan Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1432 Hijriyah itu bukan mengada-ada, tetapi berdasarkan keyakinan keagamaan. Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal jatuh pada Selasa (30/8), karena ijtima’ atau konjungsi matahari, bulan, dan bumi sudah terjadi pada Senin (29/8).

Menjelang Ramadhan yang lalu, para ulama dan umara, khususnya di Indonesia, dihadapkan pada wacana perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan. Dan menjelang Idul Fitri, kita kembali menghadapi situasi yang sama untuk menetapkan tanggal 1 Syawal. Seringkali masyarakat awam dibingungkan dengan perbedaan dalam penetapan tanggal Hijriyah.

Idul Fitri merupakan hari kemenangan bagi Umat Islam yang telah berpuasa selama sebulan dalam mengendalikan dirinya dari berbagai godaan duniawi. Sebagai penghormatan atas hari kemenangan itu, Islam mengharamkan berpuasa pada hari raya Idul Fitri 1 Syawal.

Masalah kemudian muncul ketika terjadi perbedaan dalam penetapannya. Di satu pihak menetapkannya sebagai Idul Fitri, dan di pihak lain pada hari yang sama masih melaksanakan puasa Ramadhan. Masing-masing pihak dengan keyakinan dan berlindung di balik dalil-dalil saling mengklaim keabsahan Idul Fitri yang mereka rayakan. Ironinya, orang-orang yang merayakan Idul Fitri menganggap berdosa orang-orang yang tetap berpuasa pada hari itu. Sebaliknya, pihak yang menjalankan puasa pada hari itu menganggap berdosa orang-orang yang berbuka dan merayakan hari kemenangannya itu.

Perbedaan itu terjadi karena acuan dalam menafsirkan metode penentuan awal bulan telah melahirkan dua aliran besar, yaitu ru’yah dan hisab.

Perbedaan ru’yah dan hisab

Pertama, aliran ru’yah. Secara terminologi, ru’yah adalah kegiatan untuk melihat hilal (penampakan bulan sabit) di ufuk langit sebelah barat sesaat setelah matahari terbenam untuk menentukan permulaan bulan baru. Dalam konteks ini, hilal menempati posisi sentral sebagai penentu bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini sebagaimana firman Allah:

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia… (QS. Al Baqarah: 189).

Hilal itu sendiri hanya dapat terlihat setelah proses ijtima’, yaitu proses ketika bulan berada satu kedudukan dalam satu garis dengan  matahari dan bumi. Ketika ijtima’ terjadi, bulan berada di antara bumi dan matahari. Pada saat bulan bergeser dan sebagian permukaannya menerima cahaya matahari yang terlihat berbentuk seperti lengkuk cahaya yang sangat halus, itulah yang dinamakan hilal.

Di dalam aliran ru’yah sendiri terdapat perbedaan dalam penentuan irtifa’ (ketinggian) bulan. Satu kelompok berpendapat bahwa hilal dapat dilihat bila irtifa’ nya minimal 2 derajat. Kelompok lainnya menyatakan irtifa’ itu tidak boleh kurang dari 6 derajat. Berdasarkan metode ini, masing-masing kelompok berijtihad dalam penentuan tanggal 1 Syawal. Adapun yang menjadi landasan aliran ru’yah adalah hadits Rasulullah:

Berpuasalah kamu sekalian karena melihat bulan (awal Ramadhan). Dan berbukalah kamu sekalian karena melihat bulan (Idul Fitri). Bila hilal tertutup awan di atasmu, maka genapkanlah ia menjadi tiga puluh hari. (HR. Muslim)

Nahdlatul Ulama termasuk pemerintah mengharuskan selain hisab, perlu adanya kriteria imkan ruyat (visibilitas bulan sabit) dan sidang Itsbat. Tetapi karena hilal sangat rendah, maka ru’yat pada 29 Agustus gagal melihat hilal, sehingga Ramadhan digenapkan 30 hari dan diprakirakan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus. Nadlatul Ulama menggunakan kriteria wujudul hilal dan kesatuan wilayah hukum Indonesia. Pada Senin (29/8) petang, hilal memang sudah wujud. Tetapi, hanya di beberapa wilayah, khususnya Indonesia bagian barat. Sedangkan di Indonesia timur hilal belum terwujud.

Untuk bisa mengamati hilal, sesuai kriteria yang digunakan Majelis Agama Islam Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), hilal harus memiliki ketinggian minimal 2 derajat, jarak sudut bulan – matahari 3 derajat, dan umur hilal minimal 8 jam. Meski demikian, perhitungan teoretis ini harus dipastikan dan dibuktikan melalui ru’yat.

Jika ada yang melihat hilal, bisa jadi, apa yang diamati dan dilaporkan sebagai hilal, sejatinya adalah benda langit lain yang mirip dengan hilal. Sebab, mengamati hilal bukan perkara mudah. tim harus mencari cahaya tipis bulan saat langit masih cukup terang oleh cahaya matahari. Indonesia sebagai Negara kelautan maka hilal pun akan terlihat diatas ufuk yang terletak diatas permukaan laut sehingga untuk melihat hilal harus ekstra hati-hati karena bisa terjadi pembiasan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh penguapan air laut sehingga membentuk pantulan cahaya atau pantulan cahaya dari awan yang berada diatas ufuk. Dikhawatirkan jika bukan orang yang benar-benar ahli dalam penentuan hilal, maka akan terkoreksi negative oleh hal yang demikian, karena hilal yang wujudnya kurang jelas. Beda halnya dengan negara-negara di semenanjung Arab, dimana hilal di atas ufuk berada diatas permukaan tanah atau padang pasir sehingga kecil kemungkinan pengaruh dari pembiasan cahaya yang berasal dari penguapan air laut maupun awan, sehingga didaerah mereka hilal akan terlihat sangat jelas.

Keraguan atas dilihatnya hilal dalam usia kurang dari 8 jam merupakan hal wajar. Pasalnya, rekor terendah untuk hilal yang bisa diamati di era astronomi modern adalah hilal berumur 16 jam.

Kedua, aliran Hisab. Hisab merupakan proses penetapan awal bulan dengan menggunakan metode ilmu hitung menghitung. Dasar pijakan aliran Hisab adalah Firman Allah:

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). {QS. Yunus: 5}

Aliran ini mulai berkembang sejak masa Dinasti Abbasiyah (abad ke-8 M). Menurut aliran hisab, ru’yah dapat dipahami melalui prediksi/perkiraan posisi bulan dalam ilmu hisab. Awal dan akhir bulan tidak ditentukan oleh irtifa’ (ketinggian) hilal. Jika menurut ilmu hisab hilal telah tampak, berapa pun ketinggiannya maka hitungan bulan baru sudah masuk.

Fakta yang ada

Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menunjukkan, ijtima’ atau kesegarisan matahari – bulan – bumi sebagai penanda pergantian bulan baru untuk 1 Syawal 1432 terjadi pada Senin, 29 Agustus, pukul 10.04 WIB. Dari hasil pemantauan di 96 lokasi dari Banda Aceh hingga Papua, 30 lokasi melaporkan tidak melihat hilal (bulan baru). Ijtima’ (pertemuan akhir bulan dan awal bulan baru) menjelang syawal jatuh pada Senin, 29 Agustus atau 29 Ramadhan sehingga saat matahari terbenam posisi hilal berada di atas ufuk dengan ketinggian 0 derajat 8 menit sampai 1 derajat 53 menit. Dengan demikian bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari (isti’mal) dan 1 Syawal jatuh pada Rabu, 31 Agustus 2011.

Pada saat matahari terbenam, ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia berkisar antara minus 0,1 derajat hingga 1,60 derajat. Sedangkan jarak sudut antara matahari dan bulan berkisar antara 5,58 derajat dan 6,83 derajat. Munculnya bulan saat matahari terbenam berkisar antara 5,50 jam dan 8,62 jam.

Akibat perbedaan kriteria penentuan awal bulan yang berbeda antar-ormas Islam, perlakuan terhadap data ijtima’ itupun akhirnya berbeda-beda. Muhammdiyah, salah satu ormas Islam yang menggunakan kriteria wujudul hilal atau terbentuknya hilal, jauh-jauh hari sebelumnya sudah menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1432 jauh pada hari ini, Selasa (30/8). Pada saat ini, hilal memang sudah terbentuk di sebagian wilayah Indonesia. Kriteria yang digunakan Muhammadiyah tidak mensyaratkan hilal bisa diamati atau terbentuknya hilal di seluruh Indonesia. Tinggi bulan saat maghrib pada tanggal 29 Ramadhan di wilayah Indonesia sekitar dua derajat atau kurang dan bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati sesuai dalil syar’i.

Namun kedua hal tersebut memiliki pijakan kuat berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Masing-masing metode memiliki hujjah­-nya sendiri. Perbedaan pendapat dalam banyak masalah cabang syariah adalah sebuah kepastian, tidak mungkin ditampik dan mustahil dihilangkan. Demikian secara umum yang berlaku untuk setiap masalah furu’iyah dalam masalah kajian fiqih. “Namun khusus untuk penetapan tanggal 1 Syawwal, 1 Ramadhan atau pun 1 Dzulhijjah, seharusnya ada kesepakatan di antara para mujtahid. Tidak diserahkan kepada masing-masing orang atau kelompok untuk menetapkan sendiri-sendiri”.

Mencari titik temu

Perbedaan penetapan 1 Syawal terjadi karena adanya penggunaan perhitungan yang menyimpang dari kelaziman astronomi modern. Penyimpangan dari kelaziman astronomi modern ini dengan masih digunakannya metode lama dalam hisab dan ru’yat. Metode lama ini misalnya, hisab urfi hanya dengan periode tetap, dengan pasang air laut serta metode wujudul hilal. Kalau kriteria menggunakan hisab wujudul hilal tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadan 1433 H (2012 M), 1434 H (2013 M), dan 1435 H (2014 M) juga akan berbeda. Perbedaan penetapan Idul Fitri itu akan terus berulang yakni ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk. Contohnya pada kasus penentuan Idul Fitri tahun ini. Yakni saat Maghrib 29 Ramadhan/29 Agustus, bulan sudah positif diatas ufuk tetapi tingginya di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang.

Penyelesaian perbedaan penentuan hari raya bukan dengan memperdebatkan perbedaan dalil tentang ru’yat (pengamatan) dan hisab (perhitungan), karena terbukti hal itu tidak pernah membuat tercapainya kesepakatan.
Sebenarnya, Astronomi bisa digunakan untuk menemukan titik temu tersebut dengan tetap berpijak pada dalil-dalil syar`i. Yakni titik temu antara faham ru’yat dan hisab dengan konsep kriteria visibilitas hilal (imkan ru’yat). Berdasarkan tawaran titik temu tersebut, semua pihak diajak untuk membangun sistem kalender Hijriyah yang mapan yang setara dengan sistem kalender Masehi dan penyatuan di tingkat nasional, bahkan akan menjadi contoh untuk memperluas di tingkat regional dan global, apalagi Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.

Hisab dan ru’yat sebenarnya bisa seiring sejalan. Mereka yang menggunakan hisab dan ru’yat dapat berlebaran bersama, jika kriteria yang digunakan dalam penentuan awal bulan sama. Yakni dengan menerapkan kriteria minimal hilal yang memungkinkan untuk diamati. Artinya bahwa jika semua sepakat hilal dengan ketinggian sekian derajat sudah dapat ditetapkan sebagai awal bulan, maka penentuan 1 Syawal tidak akan ada perbedaan lagi.

Kesalahan Pemerintah untuk tahun ini

Tahun 2011 ini masyarakat dibuat heboh dengan adanya keputusan pemerintah tentang penetapan 1 Syawal 1432 H yang jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011. Hal ini terjadi karena masyarakat sudah terdoktrin dengan kalender yang beredar bahwa 1 Syawal jatuh pada hari Selasa, 30 Agustus 2011, dan segala persiapan untuk menyambut hari kemenangan tersebut dilaksanakan dengan penuh sukacita. Namun bagi masyarakat yang masih menganggap pemerintah sebagai ulil amri (sebagaimana terdapat dalam Al-Quran surah Annisa ayat 59 dimana Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu…”), mereka sangat kecewa dengan keputusan pemerintah bahwa penetapan 1 Syawal jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011.

Selain dengan adanya pemberitaan yang sangat gencar di media massa baik cetak maupun elektronik bahwa Muhammadiyah telah menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Selasa, 30 Agustus 2011, Surat Keputusan Bersama tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara) tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama tahun 2011 yang menjadi acuan bagi percetakan dalam membuat kalender juga merupakan salah satu faktor yang membuat masyarakat mengalami keresahan yang tiada tara.

Pada tahun ini, SKB tiga Menteri tersebut menyebutkan bahwa Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011, yang seharusnya ada catatan untuk tanggal Masehinya menunggu hasil sidang Itsbat yang dilaksanakan oleh Pemerintah cq. Kementerian Agama RI.

Solusi terakhir

Di masa kita sekarang ini di mana khilafah sudah tidak ada lagi, tradisi menyerahkan urusan jadwal Ramadhan dan Syawal kepada otoritas penguasa tertinggi yang ada di tengah umat Islam harus tetap berlangsung.

Rakyat Mesir yang merupakan gudang ulama dan ilmuwan, tetap saja menyerahkan masalah ini kepada satu pihak. Bersama dengan pemerintah yang resmi mereka sepakat menyerahkan masalah ini kepada Grand Master Al-Azhar (Syaikhul Azhar). Dan yang menarik, begitu Syaikhul Azhar menetapkan keputusannya, semua jamaah di Mesir baik Ikhwanul Muslimin, Ansharussunnah, Takfir wal jihad, Salafi sampai kepada kelompok-kelompok sekuler sepakat untuk taat, tunduk dan patuh kepada satu pihak.

Hal yang sama juga kita saksikan di Saudi Arabia. Meski di sana ada banyak jamaah, kelompok, dan aktifis yang sering kali saling menyalahkan dan berbeda pendapat, tetapi khusus untuk jadwal Ramadhan dan Syawal, mereka bisa akur dan patuh kepada keputusan mufti Kerajaan.

Dan hal yang sama terjadi di semua negeri Islam, mereka semua kompak untuk menyerahkan urusan ini kepada satu pihak, yaitu pemerintah muslim.

Entah bagaimana ceritanya, di negeri kita yang konon negeri terbesar dengan jumlah penduduk muslim di dunia, justru setiap pihak tidak bisa berbesar hati untuk menyerahkan masalah ini ke satu tangan saja. Setiap ormas merasa punya hak 100% untuk menetapkan jatuhnya jadwal ibadah itu.

Bahkan tanpa malu-malu melarang otoritas tertinggi yaitu pemerintah untuk bersikap dan menjalankan tugasnya. Padahal yang diperselisihkan hanya urusan ijtihad yang mungkin benar dan mungkin salah. Nyaris tidak ada kebenaran mutlak dalam masalah ini. Sebab sesama yang ru’yat sudah pasti berbeda. Dan sesama yang berhisab juga berbeda. Dan perbedaan itu akan selalu ada.

Padahal masalah ini adalah masalah nasional dan menyangkut kepentingan orang banyak. Seharusnya 200 juta umat Islam menyerahkan masalah ini kepada satu pihak yang dipercaya dan konsekuen untuk patuh dan tunduk.

Satu pihak itu seharusnya adalah pihak yang netral, tidak punya kepentingan kelompok, ahli di bidang ru’yat dan hisab serta punya legitimasi. Dan pihak itu adalah pemerintah sah negeri ini. Karena dalam hal ini pemerintah adalah pihak yang merupakan otoritas tertinggi umat Islam. Dan direpresentasikan sebagai Menteri Agama RI.

Sebenarnya pemerintah harus bisa lebih tegas lagi dalam menetapkan 1 Syawal karena sudah ada dalil atau sandaran hukum secara agama yaitu:

  1. Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ayat 59 : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu (pemerintah).”.
  2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia :

KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 2 Tahun 2004

Tentang
PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

Majelis Ulama Indonesia,

MENIMBANG:

  • (a) bahwa umat Islam Indonesia dalam melaksanakan puasa Ramadan, salat Idul Fitr dan Idul Adha, serta ibadah-ibadah lain yang terkait dengan ketiga bulan tersebut terkadang tidak dapat melakukannya pada hari dan tanggal yang sama disebabkan perbedaan dalam penetapan awal bulan-bulan tersebut;
  • (b) bahwa keadaan sebagaimana tersebut pada huruf a dapat menimbulkan citra dan dampak negatif terhadap syi’ar dan dakwah Islam;
  • (c) bahwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H/16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, sebagai upaya mengatasi hal di atas;
  • (d) bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dimaksud untuk dijadikan pedoman.

MENGINGAT:

1. Firman Allah SWT (Subhanahu wa Ta’ala), antara lain :

  • (QS Yunus [10]: 5) : Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu…
  • (QS. an-Nisa’ [4]: 59) : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil-amri di antara kamu.

2. Hadis-hadis Nabi s.a.w. (shallallahu ‘alaihi wa sallam), antara lain :

  • (H.R. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar) : “Janganlah kamu berpuasa (Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Ramadhan) dan janganlah berbuka (mengakhiri puasa Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Syawwal). Jika dihalangi oleh awan/mendung maka kira-kirakanlah”.
  • (Bukhari Muslim dari Abu Hurairah) : “Berpuasalah (Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Ramadhan). Dan berbukalah (mengakhiri puasa Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Syawwal). Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”.
  • (H.R. Bukhari dari Irbadh bin Sariyah) : “Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi”.

3. Qa’idah fiqh: “Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.

MEMPERHATIKAN:

  1. Pendapat para ulama ahli fiqh; antara lain pendapat Imam al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani.
  2. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003.
  3. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari 2004.

Dengan memohon ridha Allah SWT

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN : FATWA TENTANG PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

Pertama : Fatwa

  1. Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
  2. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
  3. Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
  4. Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.

Kedua : Rekomendasi

Agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.

Ditetapkan di : Jakarta, 05 Dzulhijjah 1424 H / 24 Januari 2004 M

MAJELIS ULAMA INDONESIA,

KOMISI FATWA,

Ketua: KH. Ma’ruf Amin                                Sekretaris: Hasanudin

Sumber: Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan representative dari semua kelompok atau organisasi ke-Islam-an yang ada di Indonesia (Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Syarikat Islam, dan sebagainya) dan setiap dari mereka memiliki perwakilan di MUI untuk semua bidang, termasuk Komisi Fatwa. Apa-apa yang belum diatur dalam Al-Quran dan Hadits, maka akan diatur oleh ijma’ para ulama. Ijma’ dalam hal ini kewenangannya ada di tangan Majelis Ulama Indonesia.

Dengan merujuk kepada dua hal diatas, maka sudah sewajarnya dan wajib hukumnya bagi pemerintah dalam menyatukan ummat, termasuk dalam menyatukan penetapan 1 Syawal. Dan dengan merujuk kepada hal tersebut pulalah, maka semua ummat muslim yang ada di negeri ini wajib taat dan tunduk dengan Keputusan Pemerintah tanpa terkecuali. Meskipun ada beberapa orang yang menyatakan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Tapi kalau menyangkut masalah ke-ummat-an dan urusan uluhiyah, maka hukum manusia akan terkalahkan oleh hukum Allah.

Ane sih berharap, suatu saat nanti pemerintah kita akan kuat dan petinggi organisasi ke-Islam-an akan sadar bahwa kepentingan ummat yang utama sehingga bisa mempersatukan ummat dalam bingkai Ukhuwah Islamiyah yang nyata.

Wallahu ‘alam bish showab.

Wassalaamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh

Dipublikasi di All About Me.... | Meninggalkan komentar

Jangan pernah menilai anak dengan kemampuan akademisnya saja…!!!

Dalam seminar Smart Parents Smart Kids beberapa bulan yang lalu, ada sebuah cerita motivasi yang sangat menyentuh yang harus diketahui oleh kita selaku orangtua atau khususnya profesi pendidik / guru.

$$$$$$$$$$$$$$

Cerita bermula dari sebuah motivation training yang diadakan di sebuah kota di Provinsi Banten dan dihadiri oleh sekitar 300 orang guru.
Ketika trainer menginstruksikan kepada audience untuk menuliskan 1 nama siswa yang sangat disukai dan 1 nama siswa yang sangat tidak disukai, dengan jangka waktu 2 menit. Sebelum waktu 2 menit tersebut habis, tiba-tiba ada seorang guru yang menangis tersedu dipojok ruangan. Ketika trainer menghampirinya dan bertanya, “Sudahkah anda menuliskan nama siswa anda seperti yang saya minta tadi?”.
Lalu guru itupun menjawab, “Belum pak, saya sungguh tak kuasa untuk menulis namanya, karena dia siswa yang sangat saya sukai sekaligus siswa yang sangat tidak saya sukai.”
“Lho, bagaimana bisa satu nama siswa bisa anda sukai dan juga sekaligus tidak anda sukai? Coba anda terangkan”, kata sang trainer.
Lalu guru itupun berkata, “Saya tak kuasa untuk menulisnya, kalau boleh saya akan bercerita tentang hal tersebut supaya anda dan semua yang hadir disini bisa menilai, adakah yang salah dengan sikap saya tersebut?”
“Oh ya, silakan. Tentu hal ini sangat menarik dan akan menjadi pelajaran bagi kita semua yang hadir disini hari ini”, jawab sang trainer dengan sigap.

Maka majulah guru tersebut dan mulai bercerita tentang kisah yang dia alami. Begini kisah selengkapnya….

**********

Beberapa bulan yang lalu, saya pernah memiliki seorang siswa yang sangat ‘lemot’ sekali. Dia lemah sekali dalam penyerapan dan pemahaman disemua pelajaran. Dan hampir semua teman-teman sering memperoloknya dengan kata-kata negatif.

Suatu hari, dalam ulangan harian matematika, dia mendapat nilai 1. Dan hal itu tidak lantas membuatnya sedih. Ketika teman-temannya memperoloknya, dia dengan senyum lepasnya tanpa beban berkata, “Nggak apa-apa, terima kasih….”. Saya sangat heran sekali mengapa dia begitu tenang menanggapi olokan dari teman-temannya. Lalu ketika bel pulang sekolah berbunyi, dia siswa yang paling terakhir keluar dari ruangan kelas. Dia menghampiri saya lalu mencium tangan saya dan berkata, “Bu guru, hari ini aku mau nyuapin nenekku makan karena beliau sedang sakit sedangkan dirumah tidak ada siapa-siapa.” Lalu diapun berlalu sambil mengucapkan salam, “Assalaamu’alaikuuumm…”

Saya tidak begitu memperdulikan dia, saya biarkan dia berlalu dari hadapan saya begitu saja karena saya tidak menyukai dia dengan sifat ‘lemot’-nya.

Lalu hari berikutnya, saat ulangan harian IPA dia mendapatkan nilai 3. Dan teman-temannya pun lalu memperoloknya dengan sebutan yang negatif. Tapi herannya, dia tidak merespon secara negatif olokan teman-temannya tersebut. Bahkan dia kembali berkata, “Nggak apa-apa, terima kasih……”. Sayapun kembali heran dengan sikapnya tersebut. Dan seperti hari-hari yang lalu, dia pulang selalu paling terakhir. Dan hari ini dia menghampiri dan mencium tangan saya sambil berkata, “Bu guru, nenekku masih belum sembuh dan aku mau menyuapi beliau makan lagi hari ini supaya beliau cepat sembuh”. Lalu diapun berlalu sambil berkata, “Assalaamu’alaikuuum….”. Tapi jika kemaren saya tidak menghiraukannya, hari ini saya mulai memperhatikan gerak-geriknya. Saya merasakan betapa dia sangat menyayangi neneknya. Betapa dia sangat telaten setiap pulang sekolah menyuapi neneknya yang sedang sakit. Dan rasa tidak suka saya kepadanya mulai memudar.

Begitulah setiap hari dia selalu pulang belakangan, menunggu semua teman-temannya pulang semua dan barulah dia menghampiri saya untuk mencium tangan saya dan mengatakan sesuatu tentang neneknya. Meskipun dia hanya berkata beberapa kalimat saja, namun hal yang diucapkannya adalah tentang neneknya tersebut.

Minggu berikutnya ulangan harian Bahasa Inggris, dia mendapat nilai 2. Seperti biasa teman-temannya memperoloknya dengan kata-kata negatif. Lalu diapun menjawabnya dengan ucapan yang sama, “Nggak apa-apa, terima kasih….”. Tanpa ekspresi kecewa atau marah dengan perlakuan temannya tersebut. Lalu saat pulang sekolahpun dia menghampiri saya dan berkata, “Bu guru, nenekku sakitnya semakin parah, aku mau menyuapinya lagi dan memberinya obat supaya cepat sembuh”. Lalu dia berlalu dari hadapan saya sambil mengucap salam, “Assalaamu’alaikuuuum….”. Dalam hati kecil saya ingin sekali mengajak dia mengobrol panjang lebar tentang bagaimana kehidupan di rumahnya sehari-hari, namun karena keegoisan saya dan rasa tidak suka kepadanya masih ada – walaupun mungkin tinggal sedikit – sehingga niat untuk memanggilnya kembali untuk ngobrol urung saya lakukan.

Hari berikutnya ulangan harian IPS dan seperti biasa dia mendapatkan nilai doremi alias 1-2-3. Kali ini dia mendapat nilai 1. Sebelum saya bagikan hasilnya saya termenung sejenak. Saya berfikir, jika saya tetap memberi dia nilai 1 maka dia akan tetap menjadi bahan olokan teman-temannya, namun jika saya beri dia nilai yang berbeda dengan kenyataan, saya takut akan mencederai nama baik sekolah dan seluruh jajaran staff pengajarnya. Namun hati nurani ini akhirnya berkata lain. Saya menambahkan angka 0 (nol) dibelakang angka 1 sehingga nilainya jadi 10. Hal ini akan saya pertanggungjawabkan secara moral jika terjadi sesuatu dikemudian hari. Alasan utama saya adalah, meskipun secara akademik dia mendapat nilai 1, namun secara realitas moral dia memiliki aspek sosial yang sangat tinggi. Betapa tidak, dia sangat penyayang terhadap orang lain. Terhadap yang lebih tua dia hormat (contohnya kepada saya) dan penyayang (contohnya terhadap neneknya). Dan kepada sesama dia tidak pernah menyakiti hati mereka (meskipun dia sering diolok-olok temannya tapi dia tidak pernah membalas kelakuan mereka dan membuat mereka sakit hati). Jadi mungkin itulah pertimbangan saya saat itu.

Dampak dari perbuatan saya menambahkan angka 0 (nol) dibelakang angka 1 tersebut sungguh diluar dugaan saya sebelumnya. Sesaat setelah dia menerima hasil ulangan harian tersebut, dia lalu mendekap erat-erat kertas ulangan harian IPS tersebut dengan wajah yang belum pernah saya lihat selama ini. Dia sangat gembira dan meluapkan kegembiraannya dengan membawa berkeliling sekolah kertas ulangan harian IPS tersebut berada diatas kepalanya, seperti gadis pembawa angka saat pergantian ronde dalam olahraga tinju. Hal tersebut dilakukannya dengan mendatangi semua kelas yang ada disekolah. Tapi teman-temannya tetap saja ada yang memperoloknya dengan kata-kata negatif, “Ah, itu nilai palsu, masa’ iya kamu dapat nilai 10…”. Ada pula yang berkata, “Bu guru salah ngasih nilai tuh…”, dan sebagainya. Tapi meskipun dia diolok-olok, dia tetap tersenyum dan berkata, “Nggak apa-apa, terima kasih….”. Sungguh dia tidak tersinggung sedikitpun, meskipun disaat dia menikmati momen tersebut, masih ada saja teman-temannya yang berkata negatif terhadapnya.

Lalu seperti biasa, saat pulang sekolah tiba, dia menghampiri saya dengan wajah yang sumringah dan berkata, “Terima kasih bu guru, saya sangat gembira hari ini, mudah-mudahan dirumahpun saya dapat menemukan kegembiraan yang serupa”. Dan sesaat kemudian roman wajahnya berubah menjadi sedih, dan dia melanjutkan kalimatnya, “Nenek saya sakitnya semakin parah, ibu dan ayah bekerja dari pagi sampai malam dan tidak sempat memperhatikan nenek yang sedang sakit, apalagi memperhatikan saya yang sehat begini. Hanya saya seorang yang setiap hari menjaga dan merawat nenek. Mudah-mudahan nenek sembuh mendengar saya dapat nilai bagus hari ini”. Saya tertegun sejenak mendengar penuturannya, sungguh mulia budi pekerti engkau nak. Dan tanpa saya sadari, dia berlalu dari hadapan saya yang tengah terpaku mendengar penuturannya tadi. Sayup-sayup terdengar salam yang diucapkannya. Terlihat diujung pintu pagar dia berlari kecil dan menghilang dikejauhan.

Keesokan harinya dia tidak masuk sekolah. Sayapun lalu mencari kabar, kemanakah dia hari ini, apakah yang menyebabkan dia tidak masuk hari ini.

Oh…. Alangkah terkejutnya saya tatkala saya mendapat kabar bahwa neneknya yang selama ini dia ceritakan telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, sesaat setelah dia pulang dari sekolah dan sesaat sebelum dia menceritakan kepada neneknya tentang kebahagiaan yang diterimanya di sekolah hari itu. Mungkin neneknya tahu dari gerak gerik cucunya bahwa cucu kesayangannya tersebut sedang gembira. Dan kegembiraan cucunya itulah yang mengantarkan sang nenek untuk menghadap Sang Pencipta dengan tenang, sebelum sang cucu menceritakan apa yang membuatnya gembira hari itu.

Dampak dari meninggalnya sang nenek sungguh luar biasa bagi sang cucu. Dia sangat terpukul dan larut dalam sedih berkepanjangan sehingga dia jatuh sakit. Ayah dan ibunya pun akhirnya sadar bahwa anak mereka tidak mendapatkan curahan kasih sayang dari mereka selama ini.

Akhirnya karena larut dalam kesedihan yang mendalam, anak tersebut jatuh sakit dan akhirnya meninggal sebulan setelah kepergian sang nenek.

*********

“Oleh sebab itu, saya tak kuasa untuk menuliskan namanya dikertas ini. Karena dia siswa yang paling tidak saya sukai awalnya dan sekarang menjadi siswa yang sangat saya sukai, bahkan mungkin seumur hidup saya. Saya akan selalu mengenangnya dan meneladani kisah hidupnya dalam menyebarkan satu rasa, yaitu rasa kasih sayang yang tulus…”, lanjut guru tersebut.

Semua audience terdiam dan hanyut dalam suasana haru dari cerita yang disampaikan oleh guru tersebut, termasuk trainer-nya.

$$$$$$$$$$

Dari cerita diatas, dapat kita ambil hikmah bahwa :

  • Kehidupan tanpa kasih sayang maka akan terasa gersang dan membosankan, bahkan lebih negatif lagi mungkin bisa saling ‘menerkam’ antara satu dengan yang lainnya.
  • Kemampuan akademis anak yang menonjol bukan satu-satunya faktor keberhasilan tetapi merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan dia dimasa yang akan datang. Artinya bahwa keberhasilan bukan hanya ditentukan oleh kemampuan akademis tapi oleh faktor-faktor lainnya.
  • Para orangtua jangan terlalu tersita waktunya untuk pekerjaan saja, tapi sisihkanlah waktu untuk anak-anak anda minimal 30 menit sehari agar ada interaksi yang lebih mendalam antara batin anak anda dengan batin anda selaku orang tua.
  • Para pendidik / guru jangan terlalu puas dengan keberhasilan kemampuan akademis anak didik anda, tapi anda juga harus melakukan pendidikan non akademis.

Semoga bisa mendapatkan pelajaran berharga dari cerita motivasi diatas.

*) Cerita diatas dengan tidak mengurangi rasa hormat, tidak saya tampilkan nama dan tempat kejadiannya.

Dipublikasi di All About Me.... | Meninggalkan komentar

Harap dibaca jika anda muslim…

Tulisan ini aku tulis setelah usiaku bertambah beberapa saat yang lalu

Ada hal yang menggelitik hatiku mengenai pergantian hari tersebut

Karena beberapa tahun yang lalu aku pernah membaca artikel mengenai hal tersebut

Termasuk artikel mengenai bagaimana ummat Islam ini sudah tidak diperhitungkan lagi

Karena mayoritas aspek kehidupan sudah terwarnai oleh ajaran diluar Islam

Dan ironisnya, ummat Islam memakainya dalam kehidupan sehari-hari

Mari kita lihat faktanya…

Pertama dari segi istilah, kita biasa menyebut kata “siang hari” dan “malam hari”

Lalu apa artinya jika pergantian siang dan malam tidak sinkron dengan pergantian hari?

Menurut penanggalan Masehi, pergantian hari terjadi setiap pukul 12 malam. Atau tepatnya jam 00 menit 00 detik 00

Bukankah Allah SWT Maha Adil dengan membagi siang dan malam menjadi masing-masing 12 jam?

(Tentunya berlaku bagi kita yang berada di garis khatulistiwa)

Tetapi, bukankah penanggalan Masehi berdasarkan peredaran matahari ?

Lalu, bukankah matahari tenggelam terjadi sore hari sekitar pukul 18.00 ?

Dan dimana letak konsistensi pemakaian matahari sebagai objek pergantian hari tersebut ?

Mengapa pula malam hari dibagi 2, dimana 6 jam pertama dan 6 jam kedua berbeda hari?

Kedua dari segi hari atau tangal, jika kita tertidur lalu baru sholat ‘Isya di tanggal 1 pukul 01.00 kemudian kita sholat ‘Isya lagi di tanggal 1 tapi tepat waktu pukul 19.15, apakah berarti kita sholat ‘Isya 2 kali sehari pada tanggal 1 tersebut?

Atau jika kita sholat ‘Isya tepat waktu tanggal 1 pukul 19.15 dan tanggal 2 kita tertidur lalu baru melaksanakannya tanggal 3 pukul 01.00, apakah kita dianggap tidak sholat ‘Isya pada tanggal 2?

Ketiga dari segi bulan, dari semua bulan Masehi mengapa Februari dikucilkan?

Padahal kita tahu, ada 7 bulan dengan jumlah hari 31, ada 4 bulan dengan jumlah hari 30 dan ada 1 bulan dengan jumlah hari 28 atau 29

Mengapa tidak dijadikan 6 bulan dengan jumlah hari 30, 5 bulan dengan jumlah hari 31 dan 1 bulan dengan jumlah hari 30 atau 31?

Lalu mengapa bulan Hijriyah jumlahnya dikisaran 29 atau 30?

Keempat dari segi jam, perputaran jam yang kita kenal adalah dari kiri ke kanan

Mengapa tidak dibuat dari kanan ke kiri? Apakah salah jika dibuat demikian?

Padahal jamaah haji melakukan thawaf memutari Ka’bah perputarannya berlawanan dengan arah jarum jam

Alias dari kanan ke kiri!

Bukankah Rasulullah SAW bersabda bahwa laksanakanlah qiyaamul lail pada dua pertiga malam?

Jam berapakah dua pertiga malam tersebut?

Jika kita hitung berdasarkan hitungan Islam maka dua pertiga malam adalah pukul 02.00

Karena malam ada 12 jam, 2/3 nya adalah 8 jam

Maka 2/3 malam adalah pukul 18.00 + 8.00 = 26 – 24 = pukul 02.00

Jika perhitungan masehi maka hari terbagi atas: 6 jam dimuka (pkl 00.00 – 06.00) + 12 jam siang (pkl.06.00 – 18.00) + 6 jam diakhir (pkl 18.00 – 24.00)

Maka 2/3 malamnya Masehi adalah pukul 20.00 karena 8 jam – 6 jam (jam malam dimuka) = 2 jam, pkl 18.00 (jam malam diakhir) + 2 jam = pkl 20.00

Jadi mana yang benar penafsirannya? Anda telaah sendiri….

Kelima dari segi menulis, seperti yang aku lakukan saat ini menulis huruf latin dari kiri ke kanan

Mengapa tidak menulis dari kanan ke kiri seperti huruf hijaiyah?

Huruf yang menjadi standar baku Al-Quran

Bukankah dalam ajarannya, Islam mensyariatkan untuk mendahulukan yang kanan daripada yang kiri?

Bukankah semua yang baik-baik adanya di sebelah kanan?

Lalu mengapa kita memulainya dari sebelah kiri?

Masih banyak lagi fakta yang bertentangan dengan kehidupan kita sehari-hari

Aku hanya bisa sedih dan menyesal

Mengapa ummat ini tidak juga bangkit dari keterpurukan

Bukankah Islam pernah jaya pada masanya dulu

Menjadi contoh pusat pemerintahan dunia

Menjadi ‘kiblat’ pengobatan dengan tokohnya Ibnu Sina

Menjadi ummat yang berakhlaq paling mulia

Ya Allah ya Rahman ya Rahim…

Kami berlindung kepada-Mu atas segala tipu daya dunia

Tunjukilah kami jalan yang lurus

Jalan yang Engkau ridhoi….

Berilah kami kekuatan

Berilah kami kesabaran

Dalam menjalani hidup dan kehidupan didunia-Mu yang fana ini

Terimalah amal ibadah kami

Sebagai bekal kami kelak dalam menjalani hidup dan kehidupan di akherat-Mu yang kekal dan abadi

Himpunlah kami bersama orang-orang shalih

Dan jauhkanlah kami dari orang-orang yang Engkau murkai

Amiin….

Dipublikasi di All About Me.... | Meninggalkan komentar

Seberapa sayangkah kita pada anak-anak kita…???

Terkadang…
Aku merasa terasing di rumah sendiri
Namun terkadang aku begitu bahagia melihat para kurcaci kecilku
Mereka begitu lucu dan bisa membuat jiwa dan raga yang letih kembali segar dan bersemangat
Namun dengan kesibukanku akhir-akhir ini
Aku sadar bahwa mereka mendambakan perhatian yang lebih dari Ayahnya
Ya…
Aku sadar bahwa aku kurang memperhatikan mereka belakangan ini
Aku terkadang sedih bercampur bahagia
Tatkala aku “bisa” pulang agak sore
Begitu mendengar suara kendaraanku
Mereka sesegera mungkin berhamburan keluar
Guna menyambut kepulanganku
Meski apapun yang sedang mereka kerjakan
Mereka tinggalkan begitu saja
Demi menyambutku dengan rasa gembira yang tiada tara
Dengan tawa lepas tanpa beban

Sering aku terbangun tengah malam dan menengok mereka di kamar masing-masing
Betapa ruginya diriku
Hanya sedikit waktu yang aku luangkan untuk mereka
Kasihan….
Sedih….
Menyesal….
Semua bercampur aduk
Lalu aku teringat akan cerita dari seorang teman
Tentang anak yang mendambakan waktu sang bapak untuk bisa berbagi dengannya

*****

Ada suatu keluarga yang berada dan terpandang
Hidup mewah dan serba berkecukupan
Mereka memiliki seorang anak laki-laki berusia 8 tahun
Dan sang ayah bekerja sebagai seorang profesional
Yang sangat terpandang dan disegani oleh para koleganya
Saking sibuknya si ayah
Sampai-sampai tak ada waktu sedikitpun untuk anak semata wayangnya
Tatkala si anak bangun tidur sampai berangkat ke sekolah
Sang ayah belum bangun juga
Dan tatkala si anak pulang dari sekolah sampai tidur di malam harinya
Sang ayah belum pulang dari tempat kerjanya
Begitulah setiap harinya….
Benar-benar tak ada waktu buat si anak
Anak yang menjadi harapannya dimasa yang akan datang
Anak yang akan meneruskan “kerajaan” para leluhur mereka

Begitulah….
Dan si anakpun akhirnya sering termenung sendiri
Memikirkan sang ayah yang seolah-olah “lupa” akan kehadirannya kedunia ini
Lalu suatu ketika, saat sang ayah ada di rumah dan hendak berangkat kerja
(Padahal hari itu adalah hari libur dan sang ayah tetap berangkat kerja)
Si anak menyempatkan diri untuk bertanya pada ayahnya
“Ayah… Boleh aku bertanya sesuatu ngga?”
“Ya” sahut sang ayah pendek
“Mengapa sih ayah bekerja terus-terusan?”
“Buat nyari uang untuk kamu dan ibu” kata sang ayah
“Emang berapa gaji ayah sebulan?”
“Sekitar Rp 39 juta” kata sang ayah sambil mengambil tas kerja dan bersiap untuk berangkat
“Ooh…” jawab si anak sambil terdiam melihat ayahnya berlalu dari hadapannya

Rupanya pembicaraan si anak dengan sang ayah tadi telah membentuk pemikiran yang spontan dari si anak
Dia lalu lari ke kamar
Mencari sesuatu di meja belajarnya
Dan akhirnya ketemu
Ternyata….
Sesuatu itu adalah KALKULATOR
Sia anakpun mulai menghitung
Gaji ayah sebulan Rp 39 juta
Berarti sehari Rp 1,3 juta
(Dia menghitung hari kerja sang ayah adalah 30 hari karena tak ada hari libur bagi sang ayah selama ini)
Nah…
Jika ayah bekerja dari jam 9 pagi sampai jam 10 malam
Berarti ayah bekerja selama 13 jam
Itu berarti gaji ayah satu jam adalah Rp 100 ribu
Dan jika 10 jam berarti Rp 1 juta

Berbekal angka-angka itu, si anak berniat untuk membeli celengan
Lho kok celengan….???
Ya… celengan…
Karena si anak bertekad untuk menabung dari uang jajannya sehari-hari
Dan hari demi haripun si anak menyisihkan sebagian uang jajannya
Bahkan terkadang seluruh uang jajannya dimasukkan kedalam celengan tersebut
Agar cepat penuh….

Beberapa minggu kemudian….
Si anak tak bisa menahan kegelisahan hatinya
Dia lalu memecahkan celengan tersebut dan menghitung hasil tabungannya
Seribu, dua ribu, tiga ribu…..
Dan ternyata hanya ada Rp 207 ribu saja
Lalu uang tersebut dimasukkannya kedalam sebuah amplop berwarna biru
Dia simpan amplop itu di lemarinya

Kegelisahanpun semakin nampak diwajah si anak
Sebentar-sebentar dia melihat jam dinding yang tergantung di dinding
Menandakan bahwa dia sedang mengharapkan sesuatu akan terjadi
Ya….
Dia sedang “menunggu” sang ayah pulang
Waktu terasa lama sekali berputar
Sampai akhirnya dia tertidur di kursi tamu

Sampai akhirnya sang ayah pulang
Waktu telah menunjukkan lebih dari jam 11 malam
Ketika sang ayah masuk kedalam rumah
Dia terheran-heran melihat anak semata wayangnya tidur di kursi tamu
Lalu dengan sangat hati-hati sang ayah menggendongnya ke kamar
Karena terasa badannya diangkat lalu si anakpun terbangun dari tidur
Rona wajahnya langsung berubah gembira ketika melihat wajah sang ayah telah ada dihadapannya
Lalu si anak bergegas ke lemari dan mengambil amplop yang berisi hasil tabungannya tadi
Amplop tersebut diserahkan pada sang ayah

“Ayah, ini gaji ayah dari aku” kata si anak polos
Sang ayah bingung mendengar perkataan anaknya tersebut
“Gaji apa?” tanya sang ayah
“Tadinya aku mau ngajak ayah ke pantai. Disana aku mau berenang dan bermain pasir. Aku ingin ayah membuatkan miniatur kerajaan dari pasir pantai dan aku yang menjadi rajanya” kata si anak
Sang ayah semakin bingung, apa hubungannya antara amplop yang berisi uang, yang menurut si anak adalah gaji buatnya, dengan bermain di pantai.
Lalu si anak berkata lagi: “Tapi karena untuk bermain di pantai memakan waktu yang lama, sedangkan uang yang aku kumpulkan sedikit, maka aku putuskan bahwa aku ingin mengajak ayah untuk menonton pertandingan sepakbola di sekolahku, karena aku menjadi salah seorang pemainnya. Gak perlu waktu banyak kok, cuma 2 jam saja. Dan waktu yang ayah berikan untukku selama 2 jam tersebut aku bayar dengan uang Rp 207 rb hasil tabunganku selama ini. Gaji ayah kan Rp 100 ribu per jam nya kan?”

Mendengar perkataan si anak yang polos tersebut, membuat sang ayah tersadar. Betapa selama ini dia tidak memberikan perhatian dan mengajak anaknya bermain. Betapa waktu bagi sang ayah sangat berarti untuk mencari uang. Betapa begitu rindunya si anak akan kehangatan cinta dan kasih sayang dari sang ayah. Sampai-sampai si anak menabung agar bisa membayar waktu sang ayah. Agar sang ayah bisa bermain dengannya.

*****

Dari cerita diatas akhirnya aku bercermin pada diri sendiri. Apakah perhatian dan kasih sayangku sudah sepenuhnya aku curahkan kepada para kurcaci kecil yang menjadi penyejuk hati dan penghibur lara? Aku mungkin terlalu egois dan mementingkan diri sendiri, menyibukkan diri dengan segala aktifitasku selama ini.
Nak… Maafkan ayah ya….

Didedikasikan untuk anak-anakku : Ica, ‘Adli dan Zahran

Dipublikasi di All About Me.... | Meninggalkan komentar