1 Syawal beda lagi…???
Assalaamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh
Ane ada satu hal yang sangat mengganjal mengenai apa yang terjadi hari ini, tentang terbelahnya ummat dalam merayakan hari kemenangan setelah sebulan berjibaku, bergelut dengan hawa nafsu demi mencari ridho Allah SWT. Sungguh demi Allah, ane sedih karena toleransi yang kita agung-agungkan ternyata tidak terealisasi dengan baik. Yang merayakan Idul Fitri hari ini memperlihatkan sikap tidak terpuji dengan makan dan minum sembarangan didepan ummat yang dengan keyakinannya masih melaksanakan ibadah shaum Ramadhan. Sementara yang merayakan Idul Fitri esok hari menganggap ummat yang dengan keyakinannya telah berlebaran hari ini melanggar ketentuan Allah SWT karena makan dan minum di bulan Ramadhan.
Hal ini tak lepas dari kurangnya peranan pemerintah serta pemuka agama dalam mensyiarkan toleransi. Padahal kita semua tahu bahwa setelah dibacakannya Keputusan Pemerintah tentang penetapan 1 Syawal 1432 H, para petinggi pemerintah maupun petinggi organisasi keagamaan menggaungkan nilai-nilai toleransi dimana kenyataannya yang ane lihat hal itu tidak terjadi sama sekali.
Berdasarkan hasil sidang Itsbat, pemerintah menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriyah jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011, sesuai keputusan Menteri Agama Nomor 148 tahun 2011 tertanggal 29 Agustus 2011, tentang Penetapan 1 Syawal 1432 H.
Sedangkan Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1432 Hijriyah jatuh pada Selasa (30/8). Keputusan Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1432 Hijriyah itu bukan mengada-ada, tetapi berdasarkan keyakinan keagamaan. Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal jatuh pada Selasa (30/8), karena ijtima’ atau konjungsi matahari, bulan, dan bumi sudah terjadi pada Senin (29/8).
Menjelang Ramadhan yang lalu, para ulama dan umara, khususnya di Indonesia, dihadapkan pada wacana perbedaan dalam penetapan awal Ramadhan. Dan menjelang Idul Fitri, kita kembali menghadapi situasi yang sama untuk menetapkan tanggal 1 Syawal. Seringkali masyarakat awam dibingungkan dengan perbedaan dalam penetapan tanggal Hijriyah.
Idul Fitri merupakan hari kemenangan bagi Umat Islam yang telah berpuasa selama sebulan dalam mengendalikan dirinya dari berbagai godaan duniawi. Sebagai penghormatan atas hari kemenangan itu, Islam mengharamkan berpuasa pada hari raya Idul Fitri 1 Syawal.
Masalah kemudian muncul ketika terjadi perbedaan dalam penetapannya. Di satu pihak menetapkannya sebagai Idul Fitri, dan di pihak lain pada hari yang sama masih melaksanakan puasa Ramadhan. Masing-masing pihak dengan keyakinan dan berlindung di balik dalil-dalil saling mengklaim keabsahan Idul Fitri yang mereka rayakan. Ironinya, orang-orang yang merayakan Idul Fitri menganggap berdosa orang-orang yang tetap berpuasa pada hari itu. Sebaliknya, pihak yang menjalankan puasa pada hari itu menganggap berdosa orang-orang yang berbuka dan merayakan hari kemenangannya itu.
Perbedaan itu terjadi karena acuan dalam menafsirkan metode penentuan awal bulan telah melahirkan dua aliran besar, yaitu ru’yah dan hisab.
Perbedaan ru’yah dan hisab
Pertama, aliran ru’yah. Secara terminologi, ru’yah adalah kegiatan untuk melihat hilal (penampakan bulan sabit) di ufuk langit sebelah barat sesaat setelah matahari terbenam untuk menentukan permulaan bulan baru. Dalam konteks ini, hilal menempati posisi sentral sebagai penentu bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini sebagaimana firman Allah:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia… (QS. Al Baqarah: 189).
Hilal itu sendiri hanya dapat terlihat setelah proses ijtima’, yaitu proses ketika bulan berada satu kedudukan dalam satu garis dengan matahari dan bumi. Ketika ijtima’ terjadi, bulan berada di antara bumi dan matahari. Pada saat bulan bergeser dan sebagian permukaannya menerima cahaya matahari yang terlihat berbentuk seperti lengkuk cahaya yang sangat halus, itulah yang dinamakan hilal.
Di dalam aliran ru’yah sendiri terdapat perbedaan dalam penentuan irtifa’ (ketinggian) bulan. Satu kelompok berpendapat bahwa hilal dapat dilihat bila irtifa’ nya minimal 2 derajat. Kelompok lainnya menyatakan irtifa’ itu tidak boleh kurang dari 6 derajat. Berdasarkan metode ini, masing-masing kelompok berijtihad dalam penentuan tanggal 1 Syawal. Adapun yang menjadi landasan aliran ru’yah adalah hadits Rasulullah:
Berpuasalah kamu sekalian karena melihat bulan (awal Ramadhan). Dan berbukalah kamu sekalian karena melihat bulan (Idul Fitri). Bila hilal tertutup awan di atasmu, maka genapkanlah ia menjadi tiga puluh hari. (HR. Muslim)
Nahdlatul Ulama termasuk pemerintah mengharuskan selain hisab, perlu adanya kriteria imkan ru’yat (visibilitas bulan sabit) dan sidang Itsbat. Tetapi karena hilal sangat rendah, maka ru’yat pada 29 Agustus gagal melihat hilal, sehingga Ramadhan digenapkan 30 hari dan diprakirakan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus. Nadlatul Ulama menggunakan kriteria wujudul hilal dan kesatuan wilayah hukum Indonesia. Pada Senin (29/8) petang, hilal memang sudah wujud. Tetapi, hanya di beberapa wilayah, khususnya Indonesia bagian barat. Sedangkan di Indonesia timur hilal belum terwujud.
Untuk bisa mengamati hilal, sesuai kriteria yang digunakan Majelis Agama Islam Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), hilal harus memiliki ketinggian minimal 2 derajat, jarak sudut bulan – matahari 3 derajat, dan umur hilal minimal 8 jam. Meski demikian, perhitungan teoretis ini harus dipastikan dan dibuktikan melalui ru’yat.
Jika ada yang melihat hilal, bisa jadi, apa yang diamati dan dilaporkan sebagai hilal, sejatinya adalah benda langit lain yang mirip dengan hilal. Sebab, mengamati hilal bukan perkara mudah. tim harus mencari cahaya tipis bulan saat langit masih cukup terang oleh cahaya matahari. Indonesia sebagai Negara kelautan maka hilal pun akan terlihat diatas ufuk yang terletak diatas permukaan laut sehingga untuk melihat hilal harus ekstra hati-hati karena bisa terjadi pembiasan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh penguapan air laut sehingga membentuk pantulan cahaya atau pantulan cahaya dari awan yang berada diatas ufuk. Dikhawatirkan jika bukan orang yang benar-benar ahli dalam penentuan hilal, maka akan terkoreksi negative oleh hal yang demikian, karena hilal yang wujudnya kurang jelas. Beda halnya dengan negara-negara di semenanjung Arab, dimana hilal di atas ufuk berada diatas permukaan tanah atau padang pasir sehingga kecil kemungkinan pengaruh dari pembiasan cahaya yang berasal dari penguapan air laut maupun awan, sehingga didaerah mereka hilal akan terlihat sangat jelas.
Keraguan atas dilihatnya hilal dalam usia kurang dari 8 jam merupakan hal wajar. Pasalnya, rekor terendah untuk hilal yang bisa diamati di era astronomi modern adalah hilal berumur 16 jam.
Kedua, aliran Hisab. Hisab merupakan proses penetapan awal bulan dengan menggunakan metode ilmu hitung menghitung. Dasar pijakan aliran Hisab adalah Firman Allah:
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). {QS. Yunus: 5}
Aliran ini mulai berkembang sejak masa Dinasti Abbasiyah (abad ke-8 M). Menurut aliran hisab, ru’yah dapat dipahami melalui prediksi/perkiraan posisi bulan dalam ilmu hisab. Awal dan akhir bulan tidak ditentukan oleh irtifa’ (ketinggian) hilal. Jika menurut ilmu hisab hilal telah tampak, berapa pun ketinggiannya maka hitungan bulan baru sudah masuk.
Fakta yang ada
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menunjukkan, ijtima’ atau kesegarisan matahari – bulan – bumi sebagai penanda pergantian bulan baru untuk 1 Syawal 1432 terjadi pada Senin, 29 Agustus, pukul 10.04 WIB. Dari hasil pemantauan di 96 lokasi dari Banda Aceh hingga Papua, 30 lokasi melaporkan tidak melihat hilal (bulan baru). Ijtima’ (pertemuan akhir bulan dan awal bulan baru) menjelang syawal jatuh pada Senin, 29 Agustus atau 29 Ramadhan sehingga saat matahari terbenam posisi hilal berada di atas ufuk dengan ketinggian 0 derajat 8 menit sampai 1 derajat 53 menit. Dengan demikian bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari (isti’mal) dan 1 Syawal jatuh pada Rabu, 31 Agustus 2011.
Pada saat matahari terbenam, ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia berkisar antara minus 0,1 derajat hingga 1,60 derajat. Sedangkan jarak sudut antara matahari dan bulan berkisar antara 5,58 derajat dan 6,83 derajat. Munculnya bulan saat matahari terbenam berkisar antara 5,50 jam dan 8,62 jam.
Akibat perbedaan kriteria penentuan awal bulan yang berbeda antar-ormas Islam, perlakuan terhadap data ijtima’ itupun akhirnya berbeda-beda. Muhammdiyah, salah satu ormas Islam yang menggunakan kriteria wujudul hilal atau terbentuknya hilal, jauh-jauh hari sebelumnya sudah menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1432 jauh pada hari ini, Selasa (30/8). Pada saat ini, hilal memang sudah terbentuk di sebagian wilayah Indonesia. Kriteria yang digunakan Muhammadiyah tidak mensyaratkan hilal bisa diamati atau terbentuknya hilal di seluruh Indonesia. Tinggi bulan saat maghrib pada tanggal 29 Ramadhan di wilayah Indonesia sekitar dua derajat atau kurang dan bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati sesuai dalil syar’i.
Namun kedua hal tersebut memiliki pijakan kuat berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Masing-masing metode memiliki hujjah-nya sendiri. Perbedaan pendapat dalam banyak masalah cabang syariah adalah sebuah kepastian, tidak mungkin ditampik dan mustahil dihilangkan. Demikian secara umum yang berlaku untuk setiap masalah furu’iyah dalam masalah kajian fiqih. “Namun khusus untuk penetapan tanggal 1 Syawwal, 1 Ramadhan atau pun 1 Dzulhijjah, seharusnya ada kesepakatan di antara para mujtahid. Tidak diserahkan kepada masing-masing orang atau kelompok untuk menetapkan sendiri-sendiri”.
Mencari titik temu
Perbedaan penetapan 1 Syawal terjadi karena adanya penggunaan perhitungan yang menyimpang dari kelaziman astronomi modern. Penyimpangan dari kelaziman astronomi modern ini dengan masih digunakannya metode lama dalam hisab dan ru’yat. Metode lama ini misalnya, hisab urfi hanya dengan periode tetap, dengan pasang air laut serta metode wujudul hilal. Kalau kriteria menggunakan hisab wujudul hilal tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadan 1433 H (2012 M), 1434 H (2013 M), dan 1435 H (2014 M) juga akan berbeda. Perbedaan penetapan Idul Fitri itu akan terus berulang yakni ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk. Contohnya pada kasus penentuan Idul Fitri tahun ini. Yakni saat Maghrib 29 Ramadhan/29 Agustus, bulan sudah positif diatas ufuk tetapi tingginya di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang.
Penyelesaian perbedaan penentuan hari raya bukan dengan memperdebatkan perbedaan dalil tentang ru’yat (pengamatan) dan hisab (perhitungan), karena terbukti hal itu tidak pernah membuat tercapainya kesepakatan.
Sebenarnya, Astronomi bisa digunakan untuk menemukan titik temu tersebut dengan tetap berpijak pada dalil-dalil syar`i. Yakni titik temu antara faham ru’yat dan hisab dengan konsep kriteria visibilitas hilal (imkan ru’yat). Berdasarkan tawaran titik temu tersebut, semua pihak diajak untuk membangun sistem kalender Hijriyah yang mapan yang setara dengan sistem kalender Masehi dan penyatuan di tingkat nasional, bahkan akan menjadi contoh untuk memperluas di tingkat regional dan global, apalagi Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
Hisab dan ru’yat sebenarnya bisa seiring sejalan. Mereka yang menggunakan hisab dan ru’yat dapat berlebaran bersama, jika kriteria yang digunakan dalam penentuan awal bulan sama. Yakni dengan menerapkan kriteria minimal hilal yang memungkinkan untuk diamati. Artinya bahwa jika semua sepakat hilal dengan ketinggian sekian derajat sudah dapat ditetapkan sebagai awal bulan, maka penentuan 1 Syawal tidak akan ada perbedaan lagi.
Kesalahan Pemerintah untuk tahun ini
Tahun 2011 ini masyarakat dibuat heboh dengan adanya keputusan pemerintah tentang penetapan 1 Syawal 1432 H yang jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011. Hal ini terjadi karena masyarakat sudah terdoktrin dengan kalender yang beredar bahwa 1 Syawal jatuh pada hari Selasa, 30 Agustus 2011, dan segala persiapan untuk menyambut hari kemenangan tersebut dilaksanakan dengan penuh sukacita. Namun bagi masyarakat yang masih menganggap pemerintah sebagai ulil amri (sebagaimana terdapat dalam Al-Quran surah Annisa ayat 59 dimana Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu…”), mereka sangat kecewa dengan keputusan pemerintah bahwa penetapan 1 Syawal jatuh pada hari Rabu, 31 Agustus 2011.
Selain dengan adanya pemberitaan yang sangat gencar di media massa baik cetak maupun elektronik bahwa Muhammadiyah telah menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Selasa, 30 Agustus 2011, Surat Keputusan Bersama tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara) tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama tahun 2011 yang menjadi acuan bagi percetakan dalam membuat kalender juga merupakan salah satu faktor yang membuat masyarakat mengalami keresahan yang tiada tara.
Pada tahun ini, SKB tiga Menteri tersebut menyebutkan bahwa Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011, yang seharusnya ada catatan untuk tanggal Masehinya menunggu hasil sidang Itsbat yang dilaksanakan oleh Pemerintah cq. Kementerian Agama RI.
Solusi terakhir
Di masa kita sekarang ini di mana khilafah sudah tidak ada lagi, tradisi menyerahkan urusan jadwal Ramadhan dan Syawal kepada otoritas penguasa tertinggi yang ada di tengah umat Islam harus tetap berlangsung.
Rakyat Mesir yang merupakan gudang ulama dan ilmuwan, tetap saja menyerahkan masalah ini kepada satu pihak. Bersama dengan pemerintah yang resmi mereka sepakat menyerahkan masalah ini kepada Grand Master Al-Azhar (Syaikhul Azhar). Dan yang menarik, begitu Syaikhul Azhar menetapkan keputusannya, semua jamaah di Mesir baik Ikhwanul Muslimin, Ansharussunnah, Takfir wal jihad, Salafi sampai kepada kelompok-kelompok sekuler sepakat untuk taat, tunduk dan patuh kepada satu pihak.
Hal yang sama juga kita saksikan di Saudi Arabia. Meski di sana ada banyak jamaah, kelompok, dan aktifis yang sering kali saling menyalahkan dan berbeda pendapat, tetapi khusus untuk jadwal Ramadhan dan Syawal, mereka bisa akur dan patuh kepada keputusan mufti Kerajaan.
Dan hal yang sama terjadi di semua negeri Islam, mereka semua kompak untuk menyerahkan urusan ini kepada satu pihak, yaitu pemerintah muslim.
Entah bagaimana ceritanya, di negeri kita yang konon negeri terbesar dengan jumlah penduduk muslim di dunia, justru setiap pihak tidak bisa berbesar hati untuk menyerahkan masalah ini ke satu tangan saja. Setiap ormas merasa punya hak 100% untuk menetapkan jatuhnya jadwal ibadah itu.
Bahkan tanpa malu-malu melarang otoritas tertinggi yaitu pemerintah untuk bersikap dan menjalankan tugasnya. Padahal yang diperselisihkan hanya urusan ijtihad yang mungkin benar dan mungkin salah. Nyaris tidak ada kebenaran mutlak dalam masalah ini. Sebab sesama yang ru’yat sudah pasti berbeda. Dan sesama yang berhisab juga berbeda. Dan perbedaan itu akan selalu ada.
Padahal masalah ini adalah masalah nasional dan menyangkut kepentingan orang banyak. Seharusnya 200 juta umat Islam menyerahkan masalah ini kepada satu pihak yang dipercaya dan konsekuen untuk patuh dan tunduk.
Satu pihak itu seharusnya adalah pihak yang netral, tidak punya kepentingan kelompok, ahli di bidang ru’yat dan hisab serta punya legitimasi. Dan pihak itu adalah pemerintah sah negeri ini. Karena dalam hal ini pemerintah adalah pihak yang merupakan otoritas tertinggi umat Islam. Dan direpresentasikan sebagai Menteri Agama RI.
Sebenarnya pemerintah harus bisa lebih tegas lagi dalam menetapkan 1 Syawal karena sudah ada dalil atau sandaran hukum secara agama yaitu:
- Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ayat 59 : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu (pemerintah).”.
- Fatwa Majelis Ulama Indonesia :
KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 2 Tahun 2004
Tentang
PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH
Majelis Ulama Indonesia,
MENIMBANG:
- (a) bahwa umat Islam Indonesia dalam melaksanakan puasa Ramadan, salat Idul Fitr dan Idul Adha, serta ibadah-ibadah lain yang terkait dengan ketiga bulan tersebut terkadang tidak dapat melakukannya pada hari dan tanggal yang sama disebabkan perbedaan dalam penetapan awal bulan-bulan tersebut;
- (b) bahwa keadaan sebagaimana tersebut pada huruf a dapat menimbulkan citra dan dampak negatif terhadap syi’ar dan dakwah Islam;
- (c) bahwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H/16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, sebagai upaya mengatasi hal di atas;
- (d) bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dimaksud untuk dijadikan pedoman.
MENGINGAT:
1. Firman Allah SWT (Subhanahu wa Ta’ala), antara lain :
- (QS Yunus [10]: 5) : Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu…
- (QS. an-Nisa’ [4]: 59) : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil-amri di antara kamu.
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w. (shallallahu ‘alaihi wa sallam), antara lain :
- (H.R. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar) : “Janganlah kamu berpuasa (Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Ramadhan) dan janganlah berbuka (mengakhiri puasa Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Syawwal). Jika dihalangi oleh awan/mendung maka kira-kirakanlah”.
- (Bukhari Muslim dari Abu Hurairah) : “Berpuasalah (Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Ramadhan). Dan berbukalah (mengakhiri puasa Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Syawwal). Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”.
- (H.R. Bukhari dari Irbadh bin Sariyah) : “Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi”.
3. Qa’idah fiqh: “Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.
MEMPERHATIKAN:
- Pendapat para ulama ahli fiqh; antara lain pendapat Imam al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani.
- Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003.
- Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH
Pertama : Fatwa
- Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
- Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
- Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
- Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.
Kedua : Rekomendasi
Agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.
Ditetapkan di : Jakarta, 05 Dzulhijjah 1424 H / 24 Januari 2004 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA,
KOMISI FATWA,
Ketua: KH. Ma’ruf Amin Sekretaris: Hasanudin
Sumber: Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan representative dari semua kelompok atau organisasi ke-Islam-an yang ada di Indonesia (Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Syarikat Islam, dan sebagainya) dan setiap dari mereka memiliki perwakilan di MUI untuk semua bidang, termasuk Komisi Fatwa. Apa-apa yang belum diatur dalam Al-Quran dan Hadits, maka akan diatur oleh ijma’ para ulama. Ijma’ dalam hal ini kewenangannya ada di tangan Majelis Ulama Indonesia.
Dengan merujuk kepada dua hal diatas, maka sudah sewajarnya dan wajib hukumnya bagi pemerintah dalam menyatukan ummat, termasuk dalam menyatukan penetapan 1 Syawal. Dan dengan merujuk kepada hal tersebut pulalah, maka semua ummat muslim yang ada di negeri ini wajib taat dan tunduk dengan Keputusan Pemerintah tanpa terkecuali. Meskipun ada beberapa orang yang menyatakan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Tapi kalau menyangkut masalah ke-ummat-an dan urusan uluhiyah, maka hukum manusia akan terkalahkan oleh hukum Allah.
Ane sih berharap, suatu saat nanti pemerintah kita akan kuat dan petinggi organisasi ke-Islam-an akan sadar bahwa kepentingan ummat yang utama sehingga bisa mempersatukan ummat dalam bingkai Ukhuwah Islamiyah yang nyata.
Wallahu ‘alam bish showab.
Wassalaamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh